Sabtu, 13 Juni 2015

Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi



   Fase-fase Perkembangan Ilmu Antropologi

1.      Fase Pertama (Sebelum 1800)

Kedatangan bangsa Eropa Barat ke Benua Afrika, Asia, dan Amerika selama 4 abad (sejak akhir abad ke-15 hingga permulaan abad ke-16) membawa pengaruh bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut. Bersamaan dengan itu mulai terkumpul tulisan buah tangan para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan dalam bentuk kisah perjalanan, laporan dan sebagainya. Dalam buku-buku tersebut terdapat berbagai pengetahuan berupa deskripsi tentang adat-istiadat, susunan masyarakat, dan cirri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Oseania (yaitu kepulauan di lautan teduh) maupun suku bangsa Indian, penduduk pribumu Amerika. Bahan deskripsi itu (disebut ‘etnografi’ dari kata ethos= bangsa) sangat menarik karena berbeda bagi bangsa Eropa Barat kala itu. Akan tetapi, deskripsi tersebut sering kali tidak jelas/kabur, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak aneh bagi mereka. Selain itu, ada pula tulisan yang baik dan teliti. Kemudian dalam pandangan kalangan terpelajar di Eropa Barat timbul tiga macam sikap yang bertentangan terhadap bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika tadi, yaitu:
a.       Ada yang berpandangan bahwa bangsa-bangsa itu bukan manusia sebenarnya, melainkan mereka manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Dengan demikian timbul istilah-istilah seperti savages, primitives, untuk menyebut bangsa-bangsa tadi.
b.      Ada yang berpandangan bahwa masyarakat bangsa-bangsa itu adalah contoh dari masyarakat yang masih murni, belum mengenal kejahatan dan keburukan seperti yang ada dalam masyarakat bangsa-bangsa Eropa Barat waktu itu.
c.       Ada yang tertarik akan adat-istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi tadi itu. Kumpulan-kumpulan pribadi tadi ada yang dihimpun menjadi satu, supaya dapat dilihat oleh umum, dengan demikian timbul museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa luar Eropa.
Pada permulaan abad ke-19 perhatian terhadap himpunan pengetahuan tentang masyarakat, adat-istiadat dan cirri-ciri fisik bangsa-bangsa di luar Eropa dari pihak dunia ilmiah menjadi sangat besar, demikian besarnya sehingga timbul usaha-usaha pertama dari dunia ilmiah untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan pengetahuan etnografi tadi menjadi satu.

2.      Fase Kedua (Kira-kira Pertengahan Abad ke-19)

Integrasi yang sungguh-sungguh baru, timbul pada pertengahan abad ke 19. Karangan-karangan etnografi tersebut tersusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat. Secara singkat, cara berpikir itu dapat dirumuskan sebagai berikut: Masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat yakni dalam jangka watu beribu-ribu tahun lamanya, dari tingkat-tingkat yang rendah, melalui beberapa tingkat antara, sampai ke tingkat-tingkat tertinggi. Bentuk masyarakat dan kebudayaan manusia yang tertinggi itu adalah bentuk masyarakat dan kebudayaan seperti yang hidup di Eropa Barat kala itu. Semua bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsa-bangsa di luar Eropa (oleh orang Eropa disebut primitive) dianggap sebagai contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah, yang masih hidup sampai sekarang sebagai sisa-sisa dari kebudayaan manusia zaman dahulu. Berdasarkan cara berpikir tersebut, maka semua bangsa di dunia dapat digolongkan menurut berbagai tingkat evolusi itu. Dengan timbulnya beberapa karangan sekitar tahun 1860, yang mengklasifikasikan bahan tentang beragam kebudayaan di seluruh dunia ke dalam tingkat-tingkat evolusi tertentu, maka timbullah ilmu antropologi.
Kemudia timbul pula beberapa karangan hasil penelitian tentang sejarah penyebaran kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa di muka bumi. Di sini pun kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu dianggap sebagai sisa-sisa dan contoh-contoh dari kebudayaan manusia yang kuno sehingga dengan meneliti kebudayaan bangsa-bangsa di luar Eropa itu orang dapat menambah pengtahuan tentang sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Dengan demikian dapat kita simpulkanbahwa dalam fase perkembangannya yang kedua ini ilmu antropologi berupa suatu ilmu yang akademikal; dengan tujuan yang dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitive dengan maksed untuk mendapat suatu pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia.

3.      Fase Ketiga (Permulaan Abad ke-20)

Pada permulaan abad ke-20, sebagian Negara penjajah di Eropa berhasil untuk mencapai kemantapan kekuasaannya di daerah-daerah jajahan di luar Eropa. Untuk keperluan pemerintah jajahannya tadi, yang waktu itu mulai berhadapan langsung dengan bangsa-bangsa terjajah di luar Eropa, maka ilmu antropologi sebagai suatu ilmu yang justru mempelajari bangsa-bangsa di daerah-daerah di luar Eropa itu, menjadi sangat penting. Berkaitan erat dengan itu dikembangkan pemahaman bahwa mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa itu penting karena bangsa-bangsa itu pada umumnya masih mempunyai masyarakat yang belum kompleks sepeti masyarakat bangsa-bangsa Eropa. Suatu pengertian tentang masyarakat yang tidak kompleks akan menambah juga pengertian orang tentang masyarakat yang kompleks.
Suatu ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti yang terurai tadi, terutama berkembang di Inggris sebagai Negara penjajah yang utama, dan juga di hampir semua Negara colonial lainnya. Amerika Serikat pun yang bukan Negara colonial, tetapi telah mengalami berbagai masalah yang berhubungan sengan suku-suku bangsa Indian penduduk pribumi Benua Amerika, kemudian terpengaruholeh ilmu antropologi yang baru tadi.
Dalam fase ketiga ini ilmu antropologi menjadi suatu ilmu yang praktis, dan tujuannya dapat dirumuskan sebagai berikut: mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah colonial dan guna mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang kompleks.

4.      Fase Keempat (Sesudah Kira-kira 1930)
Dalam fase ini ilmu antropologi mengalami masa perkembangannya yang paling luas, baik mengenai bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti, maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya. Selain itu kita lihat adanya dua perubahan di dunia:
a.       Timbulnya antipati terhadap kolonialisme sesudah Perang Dunia II.
b.      Cepat hilangnya bangsa-bangsa primitif (dalam ari bangsa-bangsa asli dan terpencil dari pengaruh kebudayaan Eropa-Amerika) yang sekitar tahun 1930 mulai hilang, dan sesudah Perang Dunia II memang hampir tidak ada lagi di muka bumi ini.
Proses-prose tersebut menyebabkan ilmu antropologi seolah-olah kehilangan lapangan, dan dengan demikian terdorong untuk mengembangkan lapangan-lapangan penelitian dengan pokok  dan tujuan yang baru. Adapun warisan dari fase-fase perkembangan semula, yaitu yang pertama, kedua, dan ketiga, berupa bahan etnografi dan banyak metode ilmiah, tentu tidak dibuang demikian saja, tetapi dipakai sebagai landasan bagi perkembangannya yang baru. Perkembangan itu terutama terjadi di universitas-universitas di Amerika Serikat, tetapi menjadi umum di Negara-negara lain juga setelah tahun 1951, ketika 60 orang tokoh ahli antropologi dari berbagai Negara di Amerika dan Eropa (termasuk Uni Soviet), mengadakan suatu symposium internasional untukmeninjau dan merumuskan pokok tujuan dan ruang lingkup dari ilmu antropologi yang baru itu.
Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sudah sejak tahun 1930, memang tidak lagi hanya suku-suku bangsa primitive yang tinggal di benua-benua di luar Eropa saja, tetapi sudah beralih kepada manusia di daerah pedesaan pada umumnya, ditinjau dari sudut keragaman fisiknya, masyarakatnya, serta kebudayaannya. Dalam hal itu, perhatian tidak hanya tertuju kepada penduduk daerah pedesaan di luar benua Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa (seperti suku-suku bangsa Saomi, Flam, Lapp, Albania, Irlandia, penduduk Pegunungan Sierra dan lain-lain), dan kepada penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville dan lain-lain).
Mengenai tujuannya, ilmu antropologiyang baru dalam masa perkembangannya yang keempat ini dapat dibagi dua, yaitu tujuan akademikal dan tujuan praktisnya. Tujuan akademisnya adalah mencpai pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya. Karena di dalam praktik ilmu antropologi biasanya mempelajari masyarakat suku-bangsa, maka tujuan praktisnya adalah mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa itu.

Dinamika Kehidupan Komunitas Arab pra-Islam : Letak Geografis


 
Dinamika Kehidupan Komunitas Arab pra-Islam :
Letak Geografis

Jazirah dalam bahasa Arab berarti pulau. Jadi “Jazirah Arab” berarti “Pulau Arab”. Sebagian ahli sejarah menamai tanah Arab itu dengan “Shibhul Jazirah” yang dalam bahasa Indonesia berarti “Semenanjung”. Sebutan Jazirah atau semenanjung  adalah untuk daerah yang tanahnya menjorok ke laut.
Negari Arab secara geografi terletak di barat daya Asia.Negeri Arab ini merupakan semenanjung yang dikelilingi laut dari tiga arah, yakni Laut Merah, Samudera India (Samudera Indonesia), dan Teluk Persia.Luas Jazirah Arab adalah 3.151.000 km2.Perdagangan terbesar di negara-negara Jazirah Arab saat ini adalah minyak.
Dilihat dari peta, Jazirah Arab berbentuk persegi panjang yang sisi-sisinya tidak sejajar. Batasan-batasan alam yang membatasi Jazirah Arab adalah :
·         Di  bagian barat dengan Laut Merah
·         Di bagian timur dengan Teluk Arab (Teluk Persia dan Laut Oman)
·         Di bagian utara dengan Gurun Irak dan Gurun Syam/Syiria (Negara Suriah, Irak, dan Yordania)
·         Di bagian selatan dengan Samudera Hindia.
Jazirah Arab ini terbagi pada:
1.      Bagian Tengah
Terdiri dari padang pasir dan gurun-gurun yang jarang penduduknya dan bagian tengah terdiri dari daerah pegunungan yang amat jarang dituruni hujan. Di bagian tengah inilah orang Badui tinggal.
Jazirah Arab bagian tengah ini, terbagi lagi pada:
1.      Bagian utara di sebut Nejed.
2.      Bagian selatan di sebut dengan al-Ahkaf yang jarang penduduknya, karena itu disebut juga dengan al-Rub al-Khalli (tempat yang sunyi).

2.      Bagian Tepi
Merupakan sebuah pita kecil yang melingkari bagian tengah dan subur daerahnya dan banyak kota yang ada seperti: Bahrain dan Oman.
Pada bagian tepi ini, hujan turun cukup teratur. Di sini penduduk kota tinggal. Sebagian besar wilayah Jazirah Arab terdiri atas padang pasir atau gurun. Wilayah gurun di Jazirah Arab meliputi empat wilayah gurun utama, yaitu:
1.      Di bagian utara terdapat Gurun An-Nufud
Wilayah ini disebut juga sahara langit. Pasir yang terdapat di gurun ini sangat lembut sehingga bisa membenamkan kaki orang yang menginjaknya.Mata air dan oase sangat jarang didapati sehingga menyulitkan orang-orang yang melewatinya.
2.      Di bagian selatan terdapat Gurun Rub Al-khali
Gurun ini merupakan dataran yang keras, tandus, dan memiliki pasir yang bergelombang.
3.      Di sebelah barat terdapat Gurun Arabia
Gurun ini terletak di wilayah Hijaz dan memanjang ke selatan sampai ke Yaman.Tanahnya sangat tandus dan memiliki udara yang panas.
Daerah ini menjadi penghubung jalur perdagangan yang penting antara Yaman dan Suriah.Kota Mekah dan Madinah terdapat di wilayah ini.
4.      Di bagian timur terdapat Gurun Harrat
Daerah ini juga memiliki tanah yang tandus dan gersang.Sebagian besar penduduk di wilayah gurun adalah kaum Badui.Mereka datang di musim hujan untuk menggembalakan ternak. Di musim panas, mereka pergi untuk mencari padang gembalaan yang lebih baik.
Bangsa Arab mempunyai akar panjang dalam sejarah, mereka termasuk ras atau rumpun bangsa Caucasoid, dalam subras Mediterranean yang anggotanya meliputi wilayah sekitar Laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arabia, dan Irania.
Bangsa Arab hidup berpindah-pindah, nomad, karena tanahnya terdiri atas gurun pasir yang kering dan sangat sedikit turun hujan. Perpindahan mereka dari satu tempat ke tempat lain mengikuti tumbuhnya stepa atau padang rumput yang tumbuh secara sporadic di tanah Arab di sekitar oasis atau genangan air setelah turun hujan. Padang rumput diperlukan oleh bangsa Arab yang disebut juga bangsa Badawi, Badawah, Badui, untuk menggembalakan ternak mereka berupa domba, unta, dan  kuda, sebagai binatang unggulannya. Mereka mendiami wilayah Jazirah Arabia yang dahulu merupakan sambungan dari wilayah gurun yang membentang dari barat Sahara di Afrika hingga ke timur melintas Asia, Iran Tengah, dan Gurun Gobi di Cina. Wilayah itu sangat kering dan panas karena uap air laut yang ada di sekitarnya (Laut Merah, Lautan Hindia, dan Laut Arab) tidak memenuhi kebutuhan untuk mendinginkan daratan luas yang berbatu. Penduduk Arab tinggal di kemeh-kemah dan hidup berburu untuk mencari nafkah, bukan bertani dan berdagang yang tidak diyakini sebagai kehormatan bagi mereka, memang negeri itu susah ditanami dan diolah. Sekalipun demikian, wilayah ini subur dalam menghasilkan bahan perminyakan.
Negeri Arab pada umumnya adalah padang pasir. Tetapi tidak berarti secara keseluruhan merupakan padang pasir gersang dan tandus yang tidak ditumbuhi tanaman dan tidak berair. Berdasarkan karakter permukaannya, padang pasir tersebut beragam. Sebahagian di antaranya berupa padang pasir yang ditutupi debu dan pasir halus, lalu sebahagian diantaranya berupa pegunungan dan perbukitan, dan ada juga sebahagian daripadanya merupakan dataran rendah, di samping merupakan dataran tinggi. 
Dalam analisis Philip K. Hitty, Semenanjung Arab dan orang-orang Arab sudah dikenal baik oleh orang Yunani dan Romawi.Sebab, negeri tersebut berada di jalur perjalanan mereka menuju India dan Cina.Negeri ini dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas yang sangat bernilai di pasaran barat.Penduduknya adalah para pedagang perantara di laut-laut selatan, seperti halnya kerabat mereka, orang-orang Phoenisia— sebelumnya merupakan orang-orang Mediterania.
Para penulis klasik membagi negeri itu menjadi Arab Felix, Arab Petra, dan Arab Gurun, didasarkan atas pembagian wilayah itu ke dalam tiga kekuatan politik pada abad pertama Masehi, yaitu kawasan yang bebas, kawasan yang tunduk pada penguasa Romawi, dan kawasan yang secara nominal berada dalam kendali Persia. Arab Gurun meliputi gurun pasir Suriah-Mesopotania (Badiyah).Wilayah Arab Petra (gunung batu) berpusat di dataran Sinai dan Kerajaan Nabasia, dengan ibukota Petra.Wilayah Arab Felix mencakup bagian lainnya di Semenanjung Arab, yang kondisinya tidak banyak diketahui.Pandangan yang membatasi wilayah itu hanya hingga Yaman, daerah yang paling dikenal oleh orang-orang Eropa, merupakan pandangan keliru yang muncul pada abad pertengahan.Kata Yaman sendiri, yang berarti bahagia, mungkin merupakan usaha untuk mengalihkan arti kata Yaman dalam bahasa Arab (arah kanan) menjadi yumn yang berarti kebahagiaan. Daerah itu disebut Yaman karena berada di sebelah kanan, sebelah selatan Hijaz, berseberangan dengan Syam atau Suriah, yang berada di sebelah kiri atau utara. Marcian (sekitar 400 M) dari Heraclea menggunakan istilah Saraceni. Sebelum Marcian, Ptolemius, yang terkenal pada paruh pertama abad kedua, juga pernah menggunakan kata Saracen. Ammianus Marcellinus, seorang penduduk asli Antiokia yang menulis karyanya pada paruh terakhir abad keempat Masehi, menyamakan Saracen dengan orang-orang Arab Skenit (Ibid).
Perbedaan dari aspek permukaan ini telah diketahui oleh para ahli geografi sejak berabad-abad yang silam.Mereka telah membagi wilayah negeri Arab terdiri dari wilayah Arabia Petrix atau Arab Petraea, sebagaimana hal ini dikemukakan oleh Botleumeus.Arab Petraea yaitu wilayah yang terletak di barat daya Sahara Syam dengan Petra sebagai ibu kotanya. Kemudian Arabia Deserta, yaitu wilayah Sahara Syam. Pada mulanya yang disebut Arabia Deserta hanya wilayah Sahara Syam saja, tetapi kemudian sebahagian para ahli geografi menyebutnya untuk Semenanjung Jazirah Arab secara keseluruhan mengingat secara umum kondisinya yang gersang dan tandus. Selanjutnya Arabia Fellix, yaitu negeri Yaman yang bertanah subur menghijau atau negeri bahagia dan sentosa. Di sinilah kebudayaan Ma’in dan Saba’ tumbuh dan berdiri.
Ungkapan orang-orangArab pertama kali digunakan dalam literatur Yunani oleh Aeschylus (525-456 S.M.), yang merujuk pada para perwira tinggi Arab dalam barisan angkatan perang Xerxes.Herodotus (sekitar 484-425 S.M.) juga menggunakannya untuk merujuk pada orang-orang Arab dalam angkatan perang Xerxes, yang berasal dari Mesir Timur.Bagi para penulis klasik, mulai Eratosthenes dari Yunani (meninggal sekitar 196 S.M.) –sumber Strabo- hingga Pliny dari Romawi (meninggal sekitar 79 M.), Semenanjung Arab adalah sebuah negeri yang sangat makmur dan mewah.Arab merupakan negeri tempat tumbuhnya tanaman penghasil wewangian dan rempah-rempah lainnya; penduduknya mencintai dan menikmati kebebasan.Memang, ciri bangsa Arab yang paling memikat para penulis Barat adalah cirri yang terakhir (terutama minyak, pen).Watak orang-orang Arab yang independentelah menjadi bahan pujiandan kekaguman para penulis Eropa sejak masa lalu hingga masa Gibbon saat ini.Demikian, asal-usul bangsa Arab yang memiliki ciri karakteristik yang unik dan istimewa.
Begitu pula, dalam tulisan Ali Mufrodi bahwa dalam membicarakan wilayah geografis yang didiami bangsa Arab sebelum Islam, orang membatasi pembicaraan hanya pada Jazirah Arab, padahal bangsa Arab juga mendiami daerah-daerah di sekitar Jazirah. Jazirah Arab memang merupakan kediaman mayoritas bangsa Arab kala itu.Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar, yaitu bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana, tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat yang berbeda-beda, karena itu, ia bisa dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1.      Sahara Langit, memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut debu yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
2.      Sahara Selatan, yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus, dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan Ar-Rub’ Al-Khali (bagian yang sepi).
3.      Sahara Harrat,suatu daerah yang terdiri atas tanah Hat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu-batu hitam itu menyebar di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.
Penduduk Sahara minoritas terdiri atas suku-suku Badui yang mempunyai gaya hidup pedesaan dan nomadik, berpindah dari satu daerah ke daerah lain guna mencari air dan padang rumput untuk binatang gembalaan mereka, yaitu kambing dan unta. Adapun daerah pesisir, bila dibandingkan dengan Sahara sangat kecil, bagaikan selembar pita yang mengelilingi Jazirah.Penduduk sudah hidup menetap dengan mata pencaharian bertani dan berniaga.Oleh karena itu, mereka sempat membina berbagai macam budaya, bahkan kerajaan.
Bila dilihat dari asal-usul keturunan, penduduk Jazirah Arab dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu Qahthaniyun (keturunan Qahthan) dan ‘Adnaniyun (keturunan Ismail ibn Ibrahim).Pada mulanya, wilayah utara diduduki golongan ‘Adnaniyun dan wilayah selatan didiami golongan Qahthaniyun.Akan tetapi, lama kelamaan kedua golongan itu membaur karena perpindahan-perpindahan dari utara ke selatan atau sebaliknya.
Lebih lanjut, Ahmad Hashari menjelaskan bahwa penduduk Arab kuno adalah penduduk fakir miskin yang hidup di pinggiran desa terpencil; mereka senang berperang, membunuh, dan kehidupannya bergantung pada bercocok tanam dan turunnya hujan, mereka berpegang pada atauran qabilah atau suku dalam kehidupan sosial.Sementara penduduk Arab Kota (madan) adalah orang-orang yang melakukan perdagangan dan sibuk dengan bepergian, dan mereka juga berpegang teguh pada aturan qabilah atau suku.
Masyarakat, baik nomadik maupun yang menetap, hidup dalam budaya kesukuan Badui.Organisasi dan identitas sosial berakar pada keanggotaan dalam suatu rentang komunitas yang luas.Kelompok beberapa keluarga membentuk kabilah (clan).Beberapa kelompok kabilah membentuk suku (trile) dan dipimpin oleh seorang syekh.Mereka sangat menekankan hubungan kesukuan, sehingga kesetiaan atau solidaritas kelompok menjadi sumber kekuatan bagi suatu kabilah atau suku.Mereka suku berperang.Oleh karena itu, peperangan antarsuku sering terjadi.Sikap ini tampaknya telah menjadi tabiat yang mendarah daging dalam diri orang Arab.Dalam masyarakat yang suku berperang tersebut, nilai wanita menjadi sangat rendah.Situasi seperti ini terus berlangsung sampai datangnya agama Islam.Dunia Arab ketika itu merupakan kancah peperangan terus-menerus. Pada sisi lain, meskipun masyarakat Badui mempunyai pemimpin, mereka hanya tunduk kepada syekh atau amir (ketua kabilah) itu dalam hal yang berkaitan dengan peperangan, pembagian harta rampasan, dan pertempuran tertentu. Di luar itu, syekh atau amir tidak kuasa mengatur anggota kabilahnya.
Akibat peperangan yang terus-menerus, kebudayaan mereka tidak berkembang.Oleh karena itu, bahan-bahan sejarah Arab pra-Islam sangat langka didapatkan di dunia Arab dan dalam bahasa Arab.Ahmad Syalabi menyebutkan, sejarah mereka hanya dapat diketahui dari masa kira-kira 150 tahun menjelang lahirnya agama Islam.Pengetahuan itu diperoleh melalui syair-syair yang beredar dikalangan para perawi syair. Dengan begitulah, sejarah dan sifat masyarakat Badui Arab dapat diketahui, antara lain bersemangat tinggi dalam mencari nafkah, sabar menghadapi kekerasan alam, dan juga dikenal sebagai masyarakat yang cinta kebebasan.

Dengan kondisi alami yang seperti tidak pernah berubah itu, masyarakat Badui pada dasarnya tetap berada dalam fitrahnya. Kemurniannya terjaga, jauh lebih murni daripada bangsa-bangsa lain. Dasar-dasar kehidupan mereka mungkin dapat disejajarkan dengan bangsa-bangsa yang masih berada dalam taraf permulaan perkembangan budaya. Bedanya dengan bangsa lain, hampir seluruh penduduk Badui adalah penyair. Lain halnya dengan penduduk negeri yang telah berbudaya dan mendiami pesisir Jazirah Arab, sejarah mereka dapat diketahui lebih jelas.Mereka selalu mengalami perubahan sesuai dengan perubahan situasi dan kondisi yang mengitarinya.Mereka mampu membuat alat-alat dari besi, bahkan mendirikan kerajaan-kerajaan.Sampai kehadiran Nabi Muhammad SAW., kota-kota mereka masih merupakan kota-kota perniagaan dan memang Jazirah Arab ketika itu merupakan daerah yang terletak pada jalur perdagangan yang menghubungkan antara Syam dan Samudra India.Sebagaimana masyarakat Badui, penduduk negeri ini juga mahir menggubah syair.Biasanya, syair-syair itu dibacakan di pasa-pasar, mungkin semacam pergelaran pembacaan syair, seperti di pasar ‘ukaz’.Bahasa mereka kaya dengan ungkapan, tata bahasa, dan kiasan.
Melihat bahasa dan hubungan dagang bangsa Arab, Leboun berkesimpulan, tidak mungkin bangsa Arab tidak pernah memiliki peradaban yang tinggi, apalagi hubungan dagang itu berlangsung selama 2000 tahun. Ia yakin, bangsa Arab ikut memberi saham dalam peradaban dunia, sebelum mereka bangkit lagi pada masa Islam. Golongan Qahthaniyin, misalnya pernah mendirikan Kerajaan Saba’ dan Kerajaan Himyar di Yaman, bagian selatan Jazirah Arab.Kerajaan Saba’ inilah yang membangun bendungan Ma’arib, sebuah bendungan raksasa yang menjadi sumber air untuk seluruh wilayah kerajaan. Pada masa kejayaannya, kemajuan Kerajaan Saba’ di bidang kebudayaan dan peradaban, dapat dibandingkan dengan kota-kota dunia lain saat itu. Bekas-bekas kerajaan ini sekarang masih terbenam dalam timbunan tanah.Pada masa pemerintaha Saba’, bangsa Arab menjadi penghubung perdagangan antara Eropa dan dunia Timur Jauh.Setelah kerajaan mengalami kemunduran, muncul Kerajaan Himyar menggantikannya.Kerajaan baru ini terkenal dengan kekuatan armada niaga yang menjelajah mengarungi India, Cina, Somalia, dan Sumaterake pelabuhan-pelabuhan Yaman.Perniagaan ketika itu dapat dikatakan dimonopoli Himyar.
Setelah bendungan Ma’arib runtuh, masa gemilang Kerajaan Himyar sedikit demi sedikit memudar.Banyak bangunan roboh dibawa air dan dan sebagian besar penduduk mengungsi ke bagian utara Jazirah.Meskipun demikian, karena daerahnya berada pada jalur perdagangan yang strategis dan tanahnya subur, daerah ini tetap menjadi incaran kerajaan besar Romawi dan Persia yang selalu bersaing untuk menguasainya.
Di sebelah utara Jazirah juga pernah berdiri kerajaan-kerajaan, tetapi kerajaan-kerajaan tersebut lebih merupakan kerajaan protektorat.Ini terjadi karena khalifah-khalifah Romawi dan Persia selalu mendapat gangguan dari suku-suku Arab yang meremas dan merampoknya.Untuk melindungi khalifah-khalifah itu, atas inisiatif kerajaan besar tersebut, didirikanlah Kerajaan Hirah di bawah pelindungan Persia dan Kerajaan Ghassan di bawah perlindungan Romawi.Kedua kerajaan ini berkembang dalam waktu yang hampir bersamaan, yaitu kira-kira abad ketiga sampai abad kedatangan Islam.Raja-raja yang berkuasa umumnya berasal dari keturunan Arab Yaman.
Bagian lain dari daerahArab yang sama sekali tidak pernah dijajah oleh bangsa lain, baik karena sulit dijangkau, tandus, dan miskin adalah Hijaz. Kota terpenting di daerah ini adalah Mekah, kota suci tempat Kabah berdiri. Kabah pada masa itu bukan saja disucikan dan dikunjungi oleh penganut-penganut agama asli Mekah, tetapi juga oleh orang-orang Yahudi yang bermukim di sekitarnya.
Untuk mengamankan para peziarah yang datang ke kota itu, didirikanlah suatu pemerintahan yang pada mulanya berada di tangan dua suku yang berkuasa, yaitu Jurhum sebagai pemegang kekuasaan politik dan Ismail (keturunan Nabi Ibrahim), sebagai pemegang kekuasaan atas Kabah. Kekuasaan politik kemudian berpindah ke suku Khuza’ah dan akhirnya ke suku Quraisy di bawah pimpinan Qushai.Suku terakhir inilah yang kemudian mengatur urusan-urusan politik dan urusan-urusan yang berhubungan dengan Kabah.Semenjak itu, suku Quraisy menjadi suku yang mendominasi masyarakat Arab.Ada sepuluh jabatan tinggi yang dibagi-bagiakan kepada kabilah-kabilah asal suku Quraisy, yaitu hijabah (penjaga kunci-kunci Kabah); siqayah (pengawas mata air zam-zam untuk dipergunakan oleh para peziarah); diyat (kekuasaan hakim sipil dan kriminal); sifarah (kuasa usaha negara atau duta); liwa’ (jabatan ketentaraan); rifadah (pengurus pajak untuk orang miskin); nadwah (jabatan ketua dewan); khaimmah (pengurus balai musyawarah); khazinah (jabatan administrasi keuangan); dan azlam(penjaga panah peramal untuk mengetahui pendapat dewa-dewa). Pada saat itu, sudah menjadi kebiasaan bahwa anggota yang tertua mempunyai pengaruh paling besar dan memakai gelar rais.
Setelah Kerajaan Himyar jatuh, jalur-jalur perdagangan didominasi oleh Kerajaan Romawi dan Persia.Pusat perdagangan bangsa Arab serentak kemudian beralih ke daerah Hijaz.Mekah pun menjadi masyhur dan disegani.Begitu pula, suku Quraisy.Kondisi ini membawa dampak positif bagi mereka, yaitu perdagangan menjadi semakin maju.Akan tetapi, kemajuan Mekah tidaklah sebanding dengan kemajuan yang pernah dicapai kerajaan-kerajaan Arab sebelumnya.Meskipun demikian, dengan Mekah menjadi pusat peradaban, bangsa Arab bagaikan memulai babak baru dalam hal kebudayaan dan peradaban.